Senin, 22 Maret 2010

afiksasi bahasa sumba dialek anakalang

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri atas beragam etnis dan setiap etnis mempunyai kebudayaan masing-masing termasuk bahasanya. Setiap bahasa mempunyai tiga sistem yaitu sistem fonologi yang berbicara tentang sistem bunyi , sistem morfologi yang berbicara tentang struktur kata dan sistem sintaksis yang berbicara tentang stuktur kalimat. Oleh karena bahasa memiliki sistem sendiri maka analisis stuktur bahasa pada hakikatnya merupakan sesuatu hal yang penting untuk menemukan kebenaran struktur kebahasaan menurut sistem bahasa itu sendiri.
Bahasa adalah rekaman budaya penutur yang patut dilestarikan. Sebagai bahasa nasional bahasa Indonesia merupakan lambang kebangsaan dan lambang identitas. Bahasa Indonesia harus mampu mencerminkan nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan itu. Demikian pun bahasa daerah, harus bisa menunjukkan nilai sosial budaya. Hal ini akan terjadi jika penutur bahasa daerah mampu menjaga eksistensi bahasa daerahnya.
Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki banyak pulau dengan bahasa daerahnya masing masing seperti pulau Timor dengan bahasa Dawan, Tetun , dan lain-lain pualau Sumba dengan bahasa Sumba.
Menurut Putu Putra (2009) dalam WWW. Umbud Uin-Malang. Bahwa Di Pulau Sumba hanya terdapat satu bahasa, yakni bahasa Sumba dengan beberapa dialek berdasarkan segmentasi dialektal. Putu menerangkan keanekaragaman dialek dan subdialek berdasarkan penelusuran bentuk turunan dari bentuk asalnya. Perbedaan bentuk linguistik yang diperoleh dengan menggunakan 936 glos meliputi: 727 glos yang berian-beriannya berbeda secara leksikal; 173 glos yang berian-beriannya berbeda secara fonologis; 21 glos yang berian-beriannya berbeda secara morfologis, dan 15 glos yang berian-beriannya tidak berbeda. Di dalam 727 glos yang beriannya berbeda secara leksikal terdapat glos-glos yang menunjukkan perbedaan secara fonologis dan morfologis, tetapi tetap dimasukkan dalam berian-berian yang berbeda secara leksikal karena satu atau lebih beriannya itu berbeda secara leksikal dan hasil pendeskripsian variasi Bahasa Sumba menunjukkan bahwa terdapat bunyi vokal dan bunyi konsonan yang bervariasi teratur dan bervariasi sporadis beserta daerah sebarannya di 20 titik pengamatan. Penerapan metode pengelompokan bahasa, yaitu penggunaan berkas isoglos, penghitungan dialektometri (leksikal dan fonologis), penghitungan gabungan dialektometri leksikal dan fonologis, serta penghitungan permutasi. Temuan tersebut menghasilkan temuan pengelompokan dialek dan subdialek BS di Pulau Sumba. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa di Pulau Sumba terdapat satu bahasa dengan lima dialeknya, yakni (1) dialek Mauralewa-Kambera, (2) dialek Wano Tana /Anakalang (Wanokaka dan Katiku Tana / Anakalang ), (3) dialek Waijewa-Louli, (4) dialek Kodi, dan (5) dialek Lamboya. Nama-nama dialek itu berkaitan dengan nama kelompok masyarakat yang membentuk kerajaan-kerajaan di masa lalu, baik pada masyarakat Sumba Timur maupun Sumba Barat.
Bahasa Sumba dialek Anakalang potensial dengan masalah afiksasi, atau yang sering kita katakan proses pengimbuhan. Proses pengimbuhan atau afiksasi menyangkut dengan bentuk, fungsi dan makna. Oleh karena bahasa Anakalang potensial dengan afiks maka penulis tertarik untuk meneliti afiksasi bahasa Sumba dialek Anakalang, yang mana penutur bahasa Sumba dialek Anakalang hanya mengetahui bahasa Sumba dialek Anakalang dan menggunakannya tetapi jarang mengetahui bahwa bahasa Sumba dialek Anakalang potensial dengan proses pengimbuhan. Penutur bahasa Sumba dialek Anakalang hanya tahu berbicara bahasa Sumba dialek Anakalang tanpa mengetahui bentuk dasar kata yang dibicarakan atau perluasan dari bentuk dasar itu apa. Penulis tertarik dengan masalah ini, dan penulis memilih judul Afiksasi Bahasa Sumba Dialek Anakalang, karena masalah afiksasi sangat potensial dalam bahasa Sumba dialek Anakalang.
Dalam bahasa Indonesia memiliki berbagai macam jenis afiks, demikian juga dalam bahasa Anakalang dialek Anakalang juga memiliki berbagai macam jenis afiks antara lain:
1. Prefiks yaitu afiks yang diletakkan di depan bentuk dasar, Prefiks bahasa Anakalang yaitu : Ka,- Da?,- Ma,- Na,-pa,-
Contoh :
pamati: ’membunuh’,dari kata dasar mati yang berarti ’mati’ atau ’meninggal’.
BSDA : Namabokul pamatineya na ana rara
Transliberasi :Orang tua(laki-laki) bunuh ana bayi
Terjemahan :Orang tua membunuh seorang bayi
2. Sufiks yaitu afiks yang diletakkan di belakang bentuk dasar, Sufiks bahasa Anakalang yaitu : -ng,-de?,-ha,-da’,-ya,-me.
Contoh ;
Panaung : ’nasihat’,dari kata dasar panau yang berarti ’memberikan nasihat’.

BSDA : Ranguya nalokamu bana panau, abi lebadiya napanaungna lokamu ta keri loku
Transliberasi: Dengarkan pamanmu ketika memberikan nasihat, jangan membuang nasihat pamanmu di kali yang keruh
Terjemahan : Dengarkan nasihat pamanmu, jangan biarkan nasihat pamanmu menjadi sia-sia.
3. Konfiks yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur yaitu satu di depan bentuk dasar dan satunya lagi di belakang bentuk dasar, Konfiks bahasa Anakalang yaitu : Pa,-ng Pa,-ha Ma,-ha Ma,-ya Pa,-de?’
Contoh :
Painungha : ’minuman’, dari kata dasar inung yang berarti ’minum’.
BSDA : Jeka beyaha bami tauha da painung daku lali pemajaka atu, dapa pedangamiki lakeda
Transliberasi :Entah dimana kalian menaru minuman –minuman ,saya tidak terlalu tahu itu, saya tidak mengerti anak-anak.
Terjemahan : dimana kallian menyimpan minuman itu, saya tidak tahu dan saya tidak mengerti perilaku kalian anak-anak.
Jabaran data bahasa Sumba dialek Anakalang yang merupakan jenis afiks bahasa Sumba dialek Anakalang di atas memperlihatkan adanya bentuk , fungsi dan makna afiks bahasa Anakalang, sehingga memperkuat keinginan peneliti untuk mengangkat masalah afiksasi bahasa Sumba dialek Anakalang.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah penelitian sebagai berikut:
a. Afiks-afiks apa sajakah yang terdapat dalam bahasa Sumba dialek Anakalang
b. Bagaimanakah fungsi afiks bahasa Sumba dialek Anakalang?
c. Bagaimanakah makna gramatikal afiks bahasa Sumba dialek Anakalang?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan jenis-jenis afiks bahasa Sumba dialek Anakalang.
b. Mendeskripsikan fungsi afiks bahasa Sumba dialek Anakalang.
c. Mendeskripsikan makna gramatikal afiks bahasa Sumba dialek Anakalang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penilitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu linguistik khususnya linguistik mikro dan telaah morfologi.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Memperluas wawasan penulis tentang afiksasi, dan kajian morfologi.
b. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat terlebih masyarakat penutur bahasa Sumba dialek Anakalang
c. Melestarikan bahasa Sumba dialek Anakalang sebagai aset kebudayaan.
d. Sebagai bahan referensi bagi para peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut proses morfologis bahasa Sumba dialek Anakalang dan yang menaruh minat terhadap ilmu kebahasaan khususnya kajian morfologi dalam hal ini tentang afiksasi.
e. Dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan di daerah Sumba Tengah lebih tepatnya Anakalang ketika mempelajari imbuhan atau afiks bahasa Indonesia guru dapat memberitahukan kepada siswa bahwa terdapat juga afiks atau imbuhan bahasa Sumba dialek Anakalang sehingga proses pembelajaran bahasa Indonesia lebih menyenangkan karena siswa diajak mengenal apa yang dimilikinya yakni kekayaan bahasa daerahnya.
f. Diharapkan dalam pembelajaran siswa dapat menemukan bentuk, fungsi dan makna bahasa Indonesia dan menemukan bentuk , fungsi, dan makna bahasa Sumba dialek Anakalang untuk menguji daya analisis siswa dalam membandingkan bahasa Indonesia dan bahasa Daerah(bahasa Anakalang).
TORINE RAMBU BABA AMA.
NIM : 0601010066
PENGKAJIAN BAHASA DAERAH NTT.













BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DASAR DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tentang bahasa Sumba dialek Anakalang masih sedikit dibicarakan. Di antaranya penelitian tentang Verba bahasa anakalang dibicarakan oleh Trovina Rambu P. Walangara, pada tahun 1999, di Anakalang dengan judul Verba Bahasa Anakalang, di mana masalah yang diangkat adalah kategori kelas kata dalam bahasa Anakalang yakni verba bahasa Anakalang atau dengan sebutan lain kata kerja bahasa Anakalang. Penelitian tersebut masih sangat sederhana karena hanya meneliti tentang verba bahasa Anakalang.
Bahasa Anakalang juga pernah diteliti oleh Rambu Badja Oru, di Anakalang dengan judul Analisis Kontruksi Frasa Nominal Bahasa Anakalang dalam cerita Rayat Anakalang Sebagai bahan Pertimbangan muatan Lokal di sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Penelitian ini berbicara tentang analisis kontrastif frasa nomina bahasa anakalang yang ada dalam karya sastra dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1998
Penelitian bahasa Anakalang juga telah dikaji oleh Agung Putu Putra di Universitas UDAYANA Bali dengan judul Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian Dialektologi merumuskan bahasa Anakalang serumpun dengan bahasa Waijewa, bahasa Loli, bahasa Kambera, bahasa wanokaka. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa di Pulau Sumba terdapat satu bahasa dengan lima dialeknya, yakni (1) dialek Mauralewa-Kambera, (2) dialek Wano Tana/ Anakalang (Wanokaka dan Katiku Tana/ Anakalang ), (3) dialek Waijewa-Louli, (4) dialek Kodi dan (5) dialek Lamboya. Nama-nama dialek itu berkaitan dengan nama kelompok masyarakat yang membentuk kerajaan-kerajaan di masa lalu, baik pada masyarakat Sumba Timur maupun Sumba Barat.

2.2 Konsep Dasar
2.2.1 Afiksasi
Afiksasi adalah proses morfologis yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Menurut Verhar (2004: 107) ada empat macam afiksasi yaitu: a). Prefiks yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut ‘prefiksasi’. b). Sufiks yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang disebut ‘ sufiksasi’. c). Infiks yang dimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam proses yang namanya ‘infiksasi. d). Konfiks, atau simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks yang diimbuhkan untuk sebagian di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di kanannya. Dalam proses yang dinamakan ‘konfiksasi’ atau ‘simulfiksasi’ atau ‘ambifiksasi’ atau sirkumfiksasi.
Proses morfologis dengan penggabungan kata mengacu terbentuknya kata kompleks yang dapat direalisasikan dalam tuturan. Yang menjadi bentuk terjadinya afiksasi yakni afiks yang merupakan bentuk terikat yang bila ditambahkan pada bentuk lain akan mengubah makna gramatikal (Kridalaksana 2002:2).
Imbuhan (afiks) adalah suatu bentuk linguistik yang di dalam suatu kata merupakan unsur langsung, yang bukan kata dan bukan pokok kata. Melainkan mengubah leksem menjadi kata kompleks, artinya mengubah leksem itu menjadi kata yang mempunyai arti lebih lengkap, seperti mempunyai subjek, predikat dan objek. Sedangkan prosesnya sendiri disebut afiksasi (affixation). Imbuhan (afiks) adalah bentuk (morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata. Syarat-syarat kata untuk dapat menjadi afiksasi, antara lain: Kata itu harus dapat ditempatkan pada bentuk-bentuk lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Contoh: kata minuman, kata ini terdiri dari dua unsur langsung, yaitu kata minum yang disebut bentuk bebas dan –an yang disebut bentuk terikat. Makna ini disebut makna afiks. Contoh kata yang lain seperti: kata timbangan, pikiran, satuan.
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah kata dasar atau bentuk dasar. Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat yang diimbuhkan pada bentuk dasar dalam proses pembentukan kata.
Afiks dapat dibedakan menjadi: prefiks, infiks, sufiks, konfiks, interfiks dan transfiks. Unsur yang terdapat pada afiksasi adalah bentuk , fungsi dan makna gramatikal yang dihasilkan.
Afiks tidak memiliki arti leksis, artinya tidak mempunyai hubungan makna karena morfem itu berupa imbuhan. Sedangkan imbuhan itu dapat mempengaruhi arti kata itu sendiri. Contoh: bentuk –nya yang sudah tidak mempunyai pertalian arti dengan ia. Misalnya: rupanya, agaknya, termasuk golongan afiks, karena hubungannya dengan arti leksisnya sudah terputus. Imbuhan itu dapat mengubah makna, jenis dan fungsi sebuah kata dasar atau bentuk dasar menjadi kata lain, yang fungsinya berbeda dengan kata dasar atau bentuk dasar. Contoh: Kata belakang→ keterbelakangan → terbelakang. Pada kata ini terjadi perubahan bentuk ke-an.
Afiksasi merupakan salah satu proses morfologis yang paling sering ditemukan. Hal ini didukung dengan ditemukannya bentuk afiks dalam beberapa buku tata bahasa. Oleh karena itu, penulis akan membahas masalah ini berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Kridalaksana (2007), Keraf (1991) Ramlan (1985), Chaer (1998), dan Alwi, dkk. (2000). Menurut Kridalaksa, (2007:28) Afiksasi merupakan proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Keraf (1999 ) dalam WWW. Umbud Uin-Malang, berpendapat bahwa afiks adalah semacam morfem nondasar yang secara struktural dilekatkan pada kata dasar atau bentuk dasar untuk membentuk kata-kata baru. Ramlan (1985:47) berpendapat bahwa proses pembubuhan afiks ialah pembubuhan afiks pada suatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata. Chaer (1998) dalam WWW. Umbud Uin-Malang, afiks semacam bentuk yang dapat mengubah makna, jenis, dan fungsi sebuah kata dasar atau bentuk dasarnya. Alwi(2000: 31) berpendapat bahwa afiks ialah bentuk (atau morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata.
Menurut Putrayasa (2008:5) afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan membubuhan afiks(imbuhan ) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks, misalnya pembubuhan afiks meN– pada bentuk dasar jual menjadi menjual, pertanggungjawabkan menjadi mempertanggungjawabkan. Berdasarkan bentuk di atas dapat dilihat bahwa pembubuhan afiks dapat terjadi pada bentuk tunggal maupun bentuk kompleks.
2.2.2 Afiks Infleksional
Menurut Verhar (2004:107 ) afiks infleksional yaitu afiks yang membentukan alternan-alternan dari bentuk yang merupakan kata, atau unsur leksikal yang sama. Samsuri (1980) dalam Putrayasa (2008: 113) berpendapat bahwa infleksional adalah kontruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya. Dapat juga dikatakan bahwa infleksional adalah proses morfologis karena afiksasi yang menyebabkan terbentuknya berbagai bentukan dengan ketentuan bahwa bentukan tersebut tetap dalam kelas kata yang sama. Pada umumnya , perubahan bentuk atau proses morfologis (infleksi) hanya menyatakan hubungan sintaksis dan tidak membawa pemindahan dari satu kelas kata ke kelas kata yang lain.
2.2.3 Afiks derivasional
Menurut Verhar (2004: 108) afiks derivasional adalah afiks yang menurunkan kata atau unsur leksikal yang lain dari kata atau unsur leksikal yang lain. Samsuri (1980) dalam Putrayasa (2008:103) berpendapat bahwa derivasional merupakan kontruksi yang berbeda distribusinya dari bentuk dasarnya. Pakar lainnya mengatakan bahwa derivasional adalah proses morfologis karena afiksasi yang menyebabkan terbentuknya beberapa bentukan dengan ketentuan bahwa bentukan tersebut berubah kelas katanya dari kata dasarnya (Suparman,1979; Clark, 1981) dalam Putrayasa (2008 : 103 ).








2.3 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelusuran masalah afiksasi ini adalah teori stuktural yang pertama kali dicanangkan oleh Ferdinand de Saussure.
Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh bapak Linguistik Modern, yaitu Ferdinand De Saussure dalam buku Course de Linguistique Generale Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915 (dua tahun setelah de Saussure meninggal) Pandangan Ferdinand De Saussure bahwa bahasa adalah stuktur yakni stuktur fonologi,struktur morfologi, struktur sintaksis dan struktur semantik .
Dari keempat stuktur bahasa yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yakni struktur fonologi, morfologi , sintaksis dan semantik. Peneliti melihat aspek morfologi yaitu afiksasi sebagai suatu struktur yang perlu dikembangkan pada bahasa Sumba dialek Anakalang.







BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan proses morfologis yang terjadi pada afiks bahasa Sumba dialek Anakalang dari segi bentuk, fungsi dan makna. Proses morfologis yang diteliti adalah afiksasi atau dengan sebutan lain mendeskripsikan proses pembentukan imbuhan, dalam hal ini yang menjadi kajian utama adalah bentuk, fungsi dan makna bahasa Sumba dialek Anakalang. Metode deskripitif bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat atau hubungan fenomena-fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 1993: 8). Data yang dikumpulkan baik secara tertulis maupun secara lisan, dikumpulkan kemudian diteliti dengan tujuan untuk mempelajari fenomena-fenomena kebahasaan. Penelitian ini dilakukan melalui teknik catat dengan menggunakan langkah-langkah, yaitu: (1) studi pustaka, pada langkah ini penulis mencari dan mengumpulkan sumber pustaka; (2) pengumpulan data, pada langkah ini penulis mengumpulkan atas data tertulis mengenai afiks (3) pengklasifikasian data, pada langkah ini data yang telah disusun kemudian diklasifikasi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mencari bentuk, fungsi dan makna ; (4) penganalisisan data, pada langkah ini data yang telah diklasifikasi dan disusun secara sistematis kemudian dianalisis; (5) menyimpulkan hasil penelitian, pada langkah ini data yang telah diperoleh pada proses penganalisisan data kemudian disimpulkan.
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian.
3.2.1. Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan , yaitu terhitung dari Desember 2009 sampai Januari 2010
3.2.2. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di desa Anakalang desa Makata keri dan desa Kabela Wuntu kecamatan Katiku Tana kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.

3.3. Jenis Data dan Sumber Data
3.3.1 Jenis data
Data dalam penelitian ini berupa data lisan dan data tertulis . Data lisan berupa data bahasa yang digunakan masyarakat penutur, berupa cerita rakyat, bahasa adat, dan lagu-lagu daerah. Data tertulis berupa cerita rakyat yang dimuseumkan pada dinas kebudayaan, lagu-lagu Kidung Jemaat yang diterjemakan dalam bahasa Sumba dialek Anakalang.
3.3.2 Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini berupa informan yaitu orang Sumba tepatnya masyarakat penutur bahasa Sumba dialek Anakalang, atau masyarakat di desa Anakalang.Penentuan informan ini harus menenuhi syarat
1. Berjumlah 5 (lima) orang yang tersebar pada tiga desa.
2. Berusia 25-75 tahun
3. Penutur asli bahasa Sumba dialek Anakalang yang jarang atau tidak pernah meninggalkan desa atau lingkungan penutur bahasa Sumba dialek anakalang Anakalang.
4. Berpendidikan minimal tamat pendidikan dasar .
5. Sedang berada di Anakalang dan lingkungan penutur bahasa Sumba dialek Anakalang.
6. Memiliki pengetahuan dan pamahaman tentang bahasa Anakalang.
7. Tidak memiliki kelainan ucapan.
8. Mampu membaca dan menulis serta dapat berbahasa Indonesia
9. Bersedia bekerja sama.
3.4. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, tape recorder, kodak atau kamera, daftar tanya dan kartu data . tape recorder digunakan untuk merekam data lisan . kamera dapat digunakan unyuk memotret hal-hal yang berhubungan dengan bahasa. Daftar tanya berupa pertanyaan yang berhubungan dengan kata kata bahasa indonesia yang kn diartikan ke dalam BSDA. Kartu data digunakan untuk mencatat data.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara yakni:
1. Observasi atau pengamatan langsung yang diarahkan pada pemakaian bahasa secara lisan. Dalam observasi ini juga dilakukan teknik merekam dcerita rakyat, bahasa adat dan ujaran dalam kehidupan sehari hari.
2. Wawancara yang dilakukan dengan informan di lapangan sekaligus dilakukan untuk mengecek data.
3. Intuisi, yakni peneliti membangkitkan sendiri data kebahasaan pada bahasa Sumba dialek Anakalang dengan mengandalkan intuisi kebahasaan mengingat peneliti sendiri adalah juga penutur asli bahasa yang diteliti.
3.6. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul , selanjutnya dilakukan analisis untuk mendeskripsikan Afiksasi Bahasa Sumba dialek Anakalang.sekcara umum metode yang digunakan adalah metode distribusional , yaitu metode ananlisis yang alat penetunya merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto dalam Kusuma , 2007:54) dengan langkah-langkah:
1. Mendeskripsikan data berupa data lisan dan data tertulis.
2. Mengklasifikasikan kalimat-kalimat yang merupakan data afiksasi dan mengelompokan mengelompokkan berdasarkan bentuk , fungsi dan maknanya .

3.7. Teknik penyajian Hasil Analisis Data.
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara formal yaitu dengan menggunakan kaidah , dapat berupa rumus, diagram, tabel, dan gambar.
Demi kemudahan pemahaman , penyajian biasanya didahului atau diikuti oleh penyajian bersifat informal yaitu penyajian hasil analisis dengan menggunakan kata -kata biasa yakni kata- kata yang setelah dibaca dapat dipahami (Sudaryanto dalam Kusuma , 2007:71

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Luar biasa....
hidup anak sumba..
dendang savana TRBA menggeliat di antara pencari informasi tentang sumba!!! salah satunya saya...

BraVO...yabu